Rabu, 18 Desember 2013

AYO SEMUA MULAILAH DENGAN YANG MUDAH, YAITU

JUJUR adalah sifat terpuji. Secara naluri, semua orang suka kejujuran. Namun, secara aplikasi, tidak semua orang bisa berlaku jujur. Orang yang berbusa-busa menyuarakan kejujuran, belum tentu berperilaku jujur. Kenapa? Karena jujur tidak cukup ditimbang dengan apa yang diucapkan di lisan seseorang saja. Menyerukan kejujuran harus butuh bukti dalam kehidupan nyata. Selain itu, menjadikan jujur sebagai karakter yang mengakar di hati, juga menjadi syarat akan kebenaran kejujuran seseorang. Belum bisa disebut orang jujur, manakala tiga komponen ini, hati, lisan, dan perbuatan, belum bersatu-padu dalam diri seseorang, atau dengan bahasa lain masih parsial, dekotomi. Terkadang ada orang yang jujur hatinya saja, namun lisannya belum mampu mengucapkannya. Atau, lisannya yang mampu berkata jujur, tapi perbuatannya belum bisa membenarkannya. Ada pula, sekedar perbuatannya yang sepertinya melakukan kejujuran, tapi hati dan lisannya mengingkari itu semua. Tentu perilaku macam ini, yang memisahkan antar komponen tersebut tidak dibenarkan dalam konsep kejujuran. Dan realitas di lapangan, khususnya di negeri kita, justru mala praktek macam ini yang malah menyeruak di tengah-tengah lapisan masyarakat, baik itu rakyat jelata, atau pun para pemimpinnya. Mulai dari pengusaha, hingga bawahan-bawahannya. Sebagai contoh. Setiap para pejabat disumpah, mereka selalu berjanji dangan sumpah dengan ditandai meletakkan kitab suci masing-masing di atas kepala mereka. Apakah kemudian mereka juga jujur? Buktinya tidak juga. Justru terkadang, di kemudian hari terbongkar tindak pidana korupsinya. Seorang pelajar (siswa/mahasiswa) yang hampir setiap saat dididik untuk menjadi pribadi yang jujur, namun masih banyak juga ketika ujian mereka menyontek. Fenomena di atas setidaknya sebagai cermin, bahwa praktek kejujuran belum seutuhnya teraplikasi dalam sebagian besar masyarakat kita dengan benar. Sikap ini terjadi di semua lini di antara kita. Karyawan marketing memark-up kwitansi, sopir memark-up bensin, petugas jalanan “mengutip” pungutan, jaksa, hakim dan petugas hukum juga masih menerima suap. Bahkan orang antri ingin masuk PNS dengan suap. Pegawai korupsi waktu. Semua lini selalu ada korupsi. Padahal Rosulullah pernah mengatakan, “As-shidqu yahdii ila al-birri” (Kejujuran itu mengarahkan ke pada kebaikkan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar